Daán yahya/Republika

Sejarah Perayaan Maulid

Maulid Nabi Muhammad SAW dirayakan di banyak negara mayoritas Muslim.

Oleh: Hasanul Rizqa

Secara etimologis, mawlidu an-Nabiy berarti ‘kelahiran Nabi Muhammad SAW.’ Menurut seorang pakar sejarah kerasulan (sirah nabawiyyah) Muhammad Husain Haekal, ada beberapa pendapat tentang waktu lahirnya beliau. Dalam karyanya, Hayat Muhammad, akademisi Mesir tersebut menjelaskan pernyataan sebagian ahli sirah.

 

Ada yang menyatakan, Rasulullah SAW lahir pada Tahun Gajah—yang bertepatan dengan 570 Masehi. Pendapat ini antara lain didasarkan pada keterangan Abdullah bin Abbas, seorang sahabat Nabi SAW.

 

Dinamakan tahun gajah karena pada kurun waktu tersebut sepasukan gajah hendak menghancurkan Ka’bah di Makkah. Para prajurit yang dipimpin Abrahah itu akhirnya menemui kegagalan. Alquran bahkan menggambarkan kejadian tersebut, yakni melalui al-Fiil, surah ke-105.

 

Haekal menerangkan dua pendapat lainnya yang agak berbeda. Menurut beberapa sumber sejarah, Nabi SAW sesungguhnya telah lahir 15 tahun sebelum penyerangan Abrahah. Adapun pandangan lain menyatakan, Rasulullah SAW lahir 30 atau 70 tahun sesudah peristiwa historis tersebut.

 

Katakanlah, kesepakatan tercapai perihal tahun kelahiran. Namun, ragam pendapat pun muncul mengenai bulan lahirnya Nabi SAW. Sebagian besar pakar sirah mengatakan, beliau lahir pada bulan Rabiul Awal. Ada pula yang berkata, bulannya adalah Muharram. Beberapa memandang, Rasul SAW dilahirkan pada Safar, Rajab, atau Ramadhan.

 

Tentunya, aneka kesimpulan mengemuka pula tentang hari kelahirannya. Ada yang menyebut, waktunya adalah malam kedua Rabiul Awal. Ada pula yang mengatakan, malam kedelapan atau kesembilan. Namun, umumnya para sejarawan sepakat, beliau lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Gajah. Di antara mereka yang menyepakati hal itu adalah Ibnu Ishaq, salah seorang penulis sirah nabawiyyah terawal.

 

Lantas, sejak kapan momen tanggal lahirnya al-Musthafa shalallahu ‘alaihi wasallam dirayakan? Yang cukup menarik, tidak ada riwayat yang menyatakan, Rasulullah SAW melakukan ritual tertentu tiap ulang tahun kelahirannya. Bahkan, para sahabat beliau pun tidak pernah mengadakan suatu acara rutin tahunan yang secara khusus digelar untuk memperingati kelahiran Nabi SAW. Begitu pula keadaannya dengan generasi tabiin.

 

AM Waskito dalam Pro dan Kontra Maulid Nabi SAW (2014) mengatakan, terdapat tiga teori perihal asal-muasal perayaan Maulid Nabi. Pertama, peringatan tersebut diadakan mula-mula oleh Dinasti Fathimiyah di Mesir yang berhaluan Syiah Ismailiyah-Rafidhah. Wangsa tersebut menguasai Negeri Delta Sungai Nil sekitar abad keempat hingga keenam Hijriyah. Disebutkan, Muiz Lidinillah yang memerintah pada periode 832-975 M merintis penyelenggaraan hari kelahiran Rasulullah SAW. Namun, itu adalah satu dari sekian banyak acara rutin tahunan yang ditetapkannya. Di samping Maulid Nabi SAW, ada pula Maulid Ali bin Abi Thalib, Maulid Fathimah az-Zahra, Maulid Hasan, dan Maulid Husain.

 

Teori kedua mengungkapkan, perayaan Maulid Nabi SAW di kalangan ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja) pertama kali diwujudkan oleh Amir Abu Said Muzhaffar Kukabri. Ia merupakan seorang gubernur Irbil di wilayah Irak yang hidup pada 549-630 H. Dikisahkan, amir tersebut mengundang banyak alim ulama, cendekiawan, ahli tasawuf, serta seluruh Muslimin. Mereka kemudian dijamu dengan hidangan yang amat baik serta diberikan hadiah. Tidak ketinggalan, pemimpin tersebut juga membagi-bagikan sedekah kepada fakir mikin dan dhuafa.

 

Mengenai hal itu, Ibnu Katsir menulis, “Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal. Ia merayakannya secara besar-besaran. Ia adalah seorang yang pemberani, pahlawan, alim, dan seorang pemimpin yang adil.”

 

Adapun teori yang ketiga menganggap bahwa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi sebagai yang pertama mengadakan perayaan Maulid Nabi SAW. Raja Dinasti Ayyubiyah yang berkuasa pada 1174-1193 M tersebut bertujuan memperkuat semangat dan moril seluruh Muslimin, khususnya kalangan prajurit. Ketika itu, mereka sedang bersiap-siap menghadapi ancaman pasukan Salib yang telah mengganggu ketenteraman Baitul Makdis.

dok wikipedia

Peran Saladin

 

Teori yang pertama dan ketiga itu saling berkaitan. Pada faktanya, Sultan Shalahuddin menguasai Mesir pada kurun masa sesudah negeri itu diperintah orang-orang Fathimiyah. Waskito menukil penjelasan dari Prof Ali Muhammad ash-Shallabi, penulis buku biografi tokoh tersebut. Menurut ash-Shallabi, sang sultan berupaya membersihkan Mesir dari sisa-sisa pengaruh Syiah Ismailiyah-Rafidhah.

 

Raja yang disebut sebagai Saladin oleh orang-orang Eropa itu pun becermin dari kejadian di Tunisia. Negeri di pucuk Afrika utara itu pernah dikuasai Wangsa Fathimiyah, tetapi akhirnya pergolakan terjadi. Kaum Muslim Sunni berhasil mengambil alih pemerintahan. Untuk meneguhkan kekuasaan politik, mereka lalu memberantas kaum Syiah Ismailiyah-Rafidhah setempat hingga ke akar-akarnya.

 

Saladin tidak mau “pembersihan” yang serupa itu terjadi di Mesir. Memang, menghapus pengaruh Fathimiyah di sana bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Lebih dari 250 tahun lamanya wangsa Syiah Ismailiyah-Rafidhah bercokol dalam tatanan politik dan budaya setempat.

 

Karena itu, Saladin memilih cara-cara kultural. Sebagai contoh, Universitas al-Azhar yang dibangun Fathimiyah di Kairo tidak dirubuhkannya. Namun, fungsinya diubah yakni tidak lagi sebagai lokus kaderisasi dai-dai Syiah, melainkan pusat diseminasi pemikiran dan keilmuan Islam Sunni. Demikian pula dengan Maulid Nabi SAW, suatu acara rutin tahunan yang digagas Fathimiyah.

 

Saladin tetap mempertahankan peringatan Maulid Nabi SAW. Hal itu dengan catatan, dirinya membersihkan perayaan-perayaan lain yang tidak sesuai dengan akidah aswaja. Maka dari itu, sang sultan Ayyubiyah memilih metode perubahan kultural, bukan “pembabatan total.” Walaupun berdurasi cukup lama, dampaknya mengakar kuat di tengah masyarakat luas.

 

Dipertahankannya Maulid Nabi SAW pun terkait dengan konteks situasi masa itu. Umumnya umat Islam sedang dilanda kelemahan dan kelelahan akibat perang yang berlangsung terus menerus melawan Salibis. Dengan adanya perayaan tersebut, Saladin menggalang perhatian Muslimin untuk mengingat kembali jejak-jejak sejarah kehidupan Rasulullah SAW. Alhasil, mereka dapat semakin menguatkan rasa cinta kepada sang khatamul anbiya, khususnya ketika sedang menghadapi musuh Islam.

 

Demikianlah asal-usul peringatan Maulid Nabi dalam sejarah sejak ribuan tahun lalu. Perayaan tersebut semula diinisiasi kalangan Syiah, yakni Dinasti Fathimiyah. Namun, tradisi itu kemudian diadaptasi ke dalam kultur aswaja, yakni melalui kebijakan Sultan Shalahuddin dan Muzhaffar.

Terdapat tiga teori perihal asal-muasal perayaan Maulid Nabi.

Prokontra?

 

Maulid Nabi Muhammad SAW sudah menjadi bagian dari kebudayaan Muslimin, termasuk di Tanah Air. Bahkan, pemerintah RI memberlakukan tanggal merah setiap hari perayaan tersebut. Namun, di kalangan umat sendiri terdapat dua pandangan yang tampaknya cenderung saling bertentangan mengenai “hukum” merayakan Maulid.

 

Waskito mengatakan, sebagian pihak mendukung peringatan acara tersebut dengan menjelaskan dalil-dalil syariat yang dipandang sesuai dan keutamaan-keutamaannya. Sebaliknya, pihak lain membantah acara tersebut sembari menuding orang-orang yang melakukannya sebagai “ahli bidah.”

 

Pembicaraan mengenai Maulid Nabi SAW sudah ada sejak ulama-ulama abad pertengahan, semisal Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Nawawi, dan lain-lain. Sebagian mereka menguatkan kebolehan penyelenggaraan acara tersebut. Sebagian yang lain menafikannya. “Jika imam-imam ahli Islam sudah berselisih, tentu umat yang di bawah lebih banyak lagi perselisihannya karena masing-masing merasa mendapatkan legitimasi dari ulama-ulama mu’tabar (kredibel),” tulis Waskito.

 

Umumnya, argumentasi pro-Maulid Nabi SAW ialah, dalam Alquran dan Sunnah terdapat sejumlah dalil yang mendukung pelaksanaan perayaan itu. Lagi pula, peringatan tersebut sudah jamak dilaksanakan kaum Muslimin di pelbagai penjuru dunia selama ratusan tahun. Artinya, ia sudah dianggap sebagai ijma’ ummat (kesepakatan Muslimin). Adapun yang kontra-Maulid meletakkan pendapatnya pada keterangan, tidak ada riwayat bahwa imam-imam mazhab fikih, para ulama generasi tabiut tabiin, tabiin, sahabat, dan bahkan Rasulullah SAW sendiri yang merayakan hari kelahiran beliau.

 

Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah, kedua belah pihak pastilah menyimpan rasa cinta yang begitu tulus terhadap Nabi Muhammad SAW. Lisan mereka mengucapkan shalawat saat nama beliau diucapkan. Dari hati yang terdalam pun, mereka sama-sama berharap, kelak memperoleh syafaat beliau pada hari akhir.

 

Alhasil, perbedaan pendapat itu hendaknya disikapi dengan bijaksana agar umat tetap bersatu dalam jama’atul Muslimin atau ahlu as-sunnah wa al-jama’ah. Jangan sampai berpecah-belah, apatah lagi saling memusuhi. Alquran surah al-Hujurat ayat ke-11 mengandung nasihat yang amat menyentuh hati. “Wahai orang-orang beriman, janganlah satu kaum (Mukmin) mencela kaum (Mukmin) yang lain, karena boleh jadi mereka (yang dicela) lebih baik daripada mereka (yang mencela).”

Pawai Maulid Nabi. | DOK REPUBLIKA

Beragam cara

 

Maulid Nabi bisa menjadi ajang untuk terus meningkatkan rasa cinta dan rindu kepada Rasulullah SAW. Di samping itu, penguatan persaudaraan Muslimin (ukhuwah Islamiyah) juga dapat hadir dalam momen tersebut.

 

“Ada tiga perkara yang apabila ada pada seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Apabila ia mencintai seseorang, ia mencintainya hanya karena Allah. Ia tidak suka kembali kepada kekufuran, sebagaimana tidak mau dilemparkan ke dalam api neraka” (al-hadis).

 

Makna utama dari Maulid Nabi Muhammad SAW ialah ekspresi kecintaan umat kepada sang khatamul anbiya. Maka dari itu, nyaris seluruh negeri Muslim mengisi momen tersebut dengan meriah dan sekaligus syahdu. Kemeriahan lantaran gembira bahwa mereka menjadi umat Rasulullah SAW. Khidmat karena besarnya kerinduan terhadap beliau.

 

Menurut J Knappert dalam “The Mawlid” (1988), peringatan Maulid Nabi disemarakkan dengan berbagai cara. Kelompok sufi, misalnya, menjadikan momen tersebut sarana untuk mengingat perjuangan dan keteladanan Rasulullah SAW. Perayaan yang berlangsung setiap bulan Rabiul Awal itu juga diisi dengan pembacaan karya-karya sastra ataupun sejarah Nabi (sirah nabawiyah). Hal itu dilakukan sebagai bentuk ekspresi kecintaan dan kerinduan terhadap beliau.

 

Sebagai misal, Kitab Barzanji yang berisi doa-doa, puji-pujian, dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Karya tersebut juga mengandung kisah perjalanan kehidupan beliau; mulai dari silsilah, kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa, hingga perjuangannya sebagai utusan Allah. Semua itu disajikan dalam wujud bait-bait syair yang ritmis sehingga mudah disenandungkan. Bahkan, tidak sedikit penggemar sastra yang menghafalkannya.

 

Nama asli kitab ini merupakan ’Iqd al-Jawahir (Kalung Permata). Namun, lama-kelamaan penyebutan yang selaras dengan nama pengarangnya, Syekh Ja’far al-Barzanji bin Hasan bin Abdul Karim, lebih populer. Sang penulis lahir di Madinah pada tahun 1690. Sufi yang berasal dari kelompok etnis Kurdi—sama seperti Saladin—itu digelari al-Barzanji sesuai dengan desa tempat tinggalnya, Barzinj di Kurdistan.

 

Contoh lainnya adalah untaian syair Abu Abdullah Muhammad bin Sa’id al-Busiri. Lelaki Mesir yang lahir pada awal abad ke-13 M itu mengarang Burdah, yang berisi berbagai puisi puji-pujian kepada Rasulullah SAW. Hingga saat ini, karya tersebut terus dibaca dan dipelajari, baik oleh kalangan Arab maupun non-Arab.

 

Burdah tidak hanya dibacakan khusus pada waktu perayaan Maulid. Di Hadhramaut, Yaman, pembacaan karya tersebut diadakan setiap subuh pada hari Jumat atau bakda ashar hari Selasa. Di Mesir, para ulama Universitas al-Azhar senang membacakan Burdah tiap hari Kamis. Di Suriah, majelis-majelis kasidah bertebaran di rumah-rumah penduduk atau masjid-masjid. Mereka membawakan buah pena sang sufi yang indah itu. Tidak ketinggalan, kaum Muslimin Maroko juga membiasakan baca Burdah dengan diiringi lagu-lagu yang merdu.

 

Di Indonesia, pembacaan kasidah Burdah dan Barzanji amat mudah ditemui setiap kali Maulid Nabi SAW. Menurut Fadlil Munawwar Manshur dalam “Resepsi Kasidah Burdah al-Bushiry Dalam Masyarakat Pesantren” (2006), kalangan santri lekat dengan tradisi baca Burdah. Di luar momen peringatan kelahiran Rasul SAW pun, teks itu dipelajari dan dihayati oleh mereka. “Kasidah Burdah adalah karya sastra Arab yang bernuansa keagamaan khas pesantren,” simpul Manshur.

 

Adapun tradisi pembacaan Barzanji kerap dikaitkan dengan dakwah para wali sanga, seperti Syekh Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik. Teks yang sama pun menginspirasi Sunan Kalijaga dalam menciptakan tembang Lir-ilir ataupun Tombo Ati yang sangat familiar terutama bagi kalangan pesantren. Masuknya Barzanji ke Nusantara tidak terlepas dari pengaruh orang-orang Muslim Persia yang pernah tinggal di Gujarat dalam menyebarkan Islam di Tanah Air.

Warga memasak makanan tradisional kuah beulangong (kari daging) di Desa Meunasah Gla, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. | DOK ANTARA

Cara Indonesia

 

Indonesia tidak hanya berbangga dengan fakta sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Negeri ini pun memiliki khazanah budaya yang majemuk. Maka dari itu, pengekspresian rasa cinta kepada Rasulullah SAW pun bisa dilakukan dengan banyak cara. Terlebih lagi, dalam kaitannya dengan momen Maulid Nabi.

 

Ambil Jakarta sebagai contoh pertama. Rakhmad Zailani Kiki dalam artikelnya, “Prosesi Maulid Nabi SAW di Betawi” (2015) menuturkan, masyarakat Muslim Jakarta memiliki pelbagai cara untuk menyemarakkan Maulid Nabi. Yang umumnya ada ialah membacakan kitab-kitab puji-pujian kepada Rasulullah SAW, semisal Maulid Azabi atau Syaraf al-Anam.

 

Hal itu dilakukan dalam majelis, baik di rumah maupun masjid. Hadirin biasanya duduk melingkar, tetapi kemudian berdiri dan mengambil sikap selayaknya orang sedang berdoa. Saat pembacaan sampai pada narasi asyrakal dalam teks Syaraf al-Anam, minyak wangi akan dipergilirkan dan disemprotkan ke masing-masing tangan jamaah. Sesudah shalawat dan berdoa bersama, mereka menyudahi acara dengan makan nasi uduk dan lauk-pauk di pelataran atau kediaman warga.

 

Malam Maulid Nabi pun sering kali diramaikan oleh pawai obor. Kegiatan ini dilakukan para remaja dan anak-anak, termasuk santri. Dalam kesempatan itu, mereka akan menunjukkan pelbagai kreasi kerajinan tangan, yang menunjukkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW. Kemeriahan pun diwarnai dengan tabuhan rebana dan shalawat bersama.

 

Di Yogyakarta, puncak peringatan Maulid Nabi dikenal dengan sebutan Grebeg Maulud. Saat acara digelar, sultan dan para petinggi Keraton akan keluar dari istana untuk menuju Masjid Agung. Iring-iringan kalangan ningrat itu akan diikuti para abdi dalem yang menggotong gunungan makanan.

 

Usai melewati alun-alun, gunungan itu dibawa sampai ke Masjid Agung untuk didoakan. Selanjutnya, ratusan warga yang telah menanti dipersilakan untuk mengambilnya. Mereka acap kali saling berebut. Banyak yang percaya, jika mengambil hasil bumi dari gunungan tersebut akan mendapatkan berkah.

 

Di Serang, Banten, masyarakat setempat merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan mengadakan Panjang Maulud. Itu adalah ornamen yang biasanya berbentuk kapal atau masjid meskipun banyak pula varian yang lain. Hiasan tersebut kemudian dilengkapi dengan berbagai macam makanan dan barang berguna, semisal kain, baju, atau peralatan masak. Bahkan, tidak jarang ada yang menghiasnya dengan uang.

Sejumlah remaja masjid bermain rebana mengiringi pembacaan risalah Maulid saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Muyassarin, Kebayoran Lama, Jakarta. | DOK ANTARA

Saat hari perayaan tiba, semua Panjang Maulud yang sudah dihias dikumpulkan di depan masjid. Masyarakat lalu berzikir di masjid dan menyenandungkan shalawat. Sesudah itu, panjang diarak keliling kampung dengan diiringi tabuhan rebana, hingga kembali lagi ke masjid. Ketika itulah, isi ornamen-ornamen itu mulai diperebutkan khalayak. Beberapa diberikan langsung kepada orang-orang yang sebelumnya bermajelis di dalam masjid.

 

Di Aceh, perayaan pada momen itu dinamakan Kenduri Maulod. Ini merupakan tradisi untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang digelari masyarakat lokal sebagai Pang Ulee Alam (Penghulu Alam). Di Bumi Serambi Makkah, nyaris setiap kecamatan setempat menggelar prosesi tersebut tiap Rabiul Awal. Kemeriahannya seakan-akan “mirip” Idul Adha.

 

Sebab, dalam kesempatan itu mereka pun biasa menyembelih puluhan sapi atau kerbau. “Hana rubah aneuek binantang nyan kon maulod,” demikian ungkapan yang sering didengar. Artinya, “Kalau tidak ada penyembelihan anak hewan (binatang ternak), maka tidak bisa disebut sebagai perayaan Maulid Nabi SAW.” Daging sapi atau kerbau yang disembelih itu kemudian menjadi bahan masakan. Hidangan yang dibuat secara massal itu lantas dibagi-bagikan kepada warga atau untuk mereka makan bersama. Setiap sajian terdiri atas olahan daging, lauk pauk, serta nasi yang dibungkus daun pisang (bu kulah).

 

Masyarakat Banjar di Kalimantan merayakan Maulid Nabi SAW dalam rangkaian upacara Baayun Mulud. Kata baayun berasal dari ayun, yang berarti ‘buaian’ atau ‘mengayun.’ Bayi yang hendak ditidurkan biasanya disebut sedang baayun. Ayunan ini memberikan kesan melayang-layang bagi si bayi sehingga ia bisa tertidur lelap. Adapun kata mulud merupakan pelafalan lokal untuk maulid.

 

Baayun Mulud dilakukan di dalam masjid. Di ruangan tengahnya, panitia membuatkan ayunan yang membentang pada tiang-tiang. Ayunan itu terdiri atas tiga lapis. Yang paling atas menggunakan kain sarigading (sasirangan). Lapisan tengah dengan kain kuning atau belacu yang diberi warna dari sari kunyit. Terakhir, lapisan terbawah memakai kain bahalai, yang panjang tanpa sambungan jahitan.

 

Pada bagian tali ayunan diberi hiasan berupa anyaman janur dengan bentuk burung-burungan, kambang sarai, buah-buahan atau kue tradisional. Setiap orang tua yang mengikutsertakan anaknya dalam upacara ini mesti menyerahkan piduduk, yang berisi beras (sekira tiga setengah liter), sebiji gula merah, sebiji kelapa, satu telur ayam, untaian benang, jarum, sebongkah garam, dan uang perak.

 

Upacara baayun mulud ini sudah merupakan upacara tahunan yang selalu digelar bersama-sama oleh masyarakat Banjar. Dalam upacara Baayun Mulud dibacakan berbagai syair, seperti Barzanji, Syaraf al-Anam, atau Diba’i. Anak-anak yang ingin diayun akan dibawa saat dimulai pembacaan bagian “asyarakal.”

top